Selasa, 10 Desember 2013

Hati Sang Bidadari

Perjuangan seorang wanita adalah ketika ia mampu menjaga perasaan pasangan, dirinya dan anak-anaknya juga perasaan sang mertua.

“Menantu macam apa kamu? Masak aja ga becus!”

Sudah kesekian kali Siwi dimarahi oleh Ibu mertuanya, kali ini soal masakannya, sehati-hati apapun Siwi memasak pasti ada saja yang dikritik oleh Ibu mertuanya mulai dari cara memasak, cara membersihkan dapur, hingga rasa masakan. Tidak hanya soal memasak bahkan caranya berpakaian pun jadi kritikan pedas Ibu mertuanya.

“Warna baju kamu itu enggak matching sama rok yang kamu pakai! Ganti sana!” perintah sang ibu mertua, Siwi hanya tertunduk mengikuti apa perintah sang Ibu mertua. Kalau bukan karena rasa cinta dan hormatnya kepada Haryo suaminya Siwi pasti sudah kabur dari rumah.

Memang sejak pernikahannya, sang Ibu mertua tidak menyukai Siwi, entah apa sebabnya tapi menurut isu yang beredar, semua disebabkan Siwi berasal dari keluarga tidak mampu, sementara Haryo adalah anak seorang pengusaha dan sang Ibu mertua merupakan kalangan terpandang diantara kumpulan istri-istri para pengusaha. Karena Haryo nekad melamar Siwi, Siwi menjadi bahan gunjingan di perkumpulan istri-istri pengusaha.

“Jeng, bagaimana sih, mau aja menerima menantu kayak Siwi, apa Jeng enggak takut miskin nantinya?”
Pertanyaan itu menghantui Ibu mertua Siwi, hingga akhir sang Ibu mertua hanya bisa melampiaskan kekesalannya pada Siwi.

=o0o=

Kriing!! suara telepon memecah ketegangan didalam dapur.
“Angkat tuh teleponnya!” perintah Ibu mertua kepada Siwi yang terdiam disudut dapur.

“Assalamu'alaikum” terdengar suara merdu nan menenangkan dari seberang sana.
“Wa'alaikum salam, Kak Haryo apa kabar?” Siwi tersenyum bahagia mendengar suara suaminya yang kini berada di Malaysia.

“Alhamdulillah, aku baik Dik, kamu bagaimana?”

Kakak dan Adik begitulah panggilan sayang antara keduanya, Siwi dan Haryo, Haryo memang sangat mencintai Siwi begitu juga dengan Siwi, tapi sayang Ibunya Haryo kurang suka terhadap kedudukan Siwi sebagai anak dari golongan tidak mampu.

“Alhamdulillah, aku baik-baik saja kak?” ucap Siwi kepada suaminya, Ia tidak ingin Haryo tahu kalau Ibunya berlaku tidak menyenangkan kepada Siwi, selama dalam hal wajar Siwi menerima perlakuan Ibu mertuanya.

“InsyaAlloh, minggu depan aku pulang ke Indonesia, masih ada beberapa hal yang harus aku selesaikan di Malaysia, Jaga dirimu baik-baik ya.., Oh iya aku ingin bicara dengan Ibu, bisa berikan teleponnya ke Ibu?”
“Iya, tunggu sebentar Kak”

Siwi memberikan telepon ke Ibu mertuanya, dengan tampang sinis Ibu mertuanya mengambil gagang telepon dari Siwi, ditelepon Ibu mertuanya nampak berbicara biasa saja, seperti tidak terjadi apa-apa selama ini, Siwi hanya menghela nafas panjang mendengar tawa ramah Ibu mertuanya saat menelepon anaknya.

“Mudah-mudahan suatu hari nanti, Ibu mencintaiku sama seperti mencintai anaknya” doa Siwi dalam hati.

=o0o=

Hari demi hari berlalu, sudah tiba waktunya Haryo pulang dari Malaysia.

“Mudah-mudahan dia suka oleh-oleh ini.” Haryo tersenyum dalam hati membayangkan wajah istri tercinta.

“Pak Haryo, saatnya kita berangkat ke bandara”

“Oh, iya, tunggu sebentar, aku ingin memastikan tidak ada barang yang tertinggal”

Haryo dan pegawainya menuju bandara Kuala Lumpur, Malaysia, mereka menyewa pesawat menuju Jakarta.

Sementara itu, di rumah, Siwi sedang dikurung di dalam kamar oleh Ibu mertuanya, di ruang tamu sedang ada pertemuan antara kelompok istri-istri pengusaha, Ibu mertuanya tidak mau Ibu-ibu pengusaha yang lain melihat Siwi di rumah tersebut.

“Jeng, menantumu kemana? Kok enggak ada dirumah?”

“Sedang berlibur sama suaminya ke Malaysia” jawab sang Ibu mertua seraya tersenyum dingin.

“Beruntung sekali ya, menantumu yang miskin itu, kini bisa hidup mewah bak putri raja”

Perkataan sederhana, namun cukup menyakitkan bagi sang Ibu mertua “menantumu yang miskin?” kalimat itu semakin teringang di kepala sang Ibu mertua.

=o0o=

Suara telepon berdering kencang, tak seperti biasanya, seperti akan ada kiriman kabar yang tidak menyenangkan.

“Assalamu'alaikum”

“Wa'alaikumsalam.. apa benar ini nomer telepon rumah Bapak Haryo Susanto” suara seseorang terdengar dari dalam telepon.

“Iya, benar. Ini dengan Ibunya, ada apa ya Pak?”

“Ibu, mohon ketabahannya ya.. pesawat yang ditumpangi anak Ibu tergelincir di bandara”

“Apa? Anakku kecelakaan!” tidak sempat mendengar cerita lengkapnya, sang Ibu mertua pingsan.

Siwi yang terkaget melihat Ibu mertuanya pingsan, mengambil telepon dan menanyakan kondisi Haryo

“Hallo, Pak, ini istrinya Pak Haryo, kondisi suami saya bagaimana Pak?”

“Alhamdulillah, suami Ibu selamat dari kecelakaan, cuma kaki kanannya terpaksa diamputasi karena patah terjepit di dalam pesawat.”

Siwi menahan rasa sedihnya, Ia segera bergegas menuju rumah sakit dengan diantar supir pribadi keluarga Haryo, sang Ibu mertua masih tak sadarkan diri, Siwi membawa sang Ibu mertua untuk dirawat dengan baik di rumah sakit.

=o0o=

Di rumah sakit, setelah menyerahkan perawatan sang Ibu mertua ke suster, Siwi bergegas menuju kamar tempat Haryo dirawat.

Siwi terdiam, balutan infus masih menyelimuti tubuh Haryo, darah segar meresap dibalik kain kasa dan kapas yang digunakan untuk menutupi luka.

“Kak..” ucap Siwi seraya memeluk tubuh sang suami.

“Pak Haryo sudah baikan, mungkin hanya lelah saja akibat trauma, tolong jangan buat dia stress, dia baru saja kehilangan satu kakinya, dan ia masih belum bisa berkomunikasi dengan lancar karena ada gangguan di pita suaranya” kata dokter kepada Siwi.

Siwi mengangguk pelan, mendengar pesan dari dokter.

Haryo pun terbangun, ia memeluk erat tubuh istrinya. Siwi menguraikan air mata “Alhamdulillah Kak dirimu selamat”

Haryo tersenyum. Tak ada sepatah kata yang diucapkannya.

=o0o=

Sepulang dari rumah sakit, tak henti-hentinya sang Ibu mertua menangis, melihat kondisi anaknya yang kini cacat.

Siwi mencoba menenangkan kesedihan sang Ibu mertua

“Sudah Bu, jangan menangis seperti itu,lebih baik bersyukur Kak Haryo masih selamat, ini hanya ujian dari Alloh, Bu” ucap Siwi berharap sang Ibu mertua mau mendengarkan tapi tidak seperti yang diharapkan.

“Syukur, syukur! Kamu senang ya melihat anakku cacat?”

“Astagfirullah, Ibu kok berpikiran seperti itu?”

“Sejak dari rumah sakit, dirimu tidak pernah terlihat menangis, hanya senyuman yang kamu berikan kepada Haryo anakku!”

“Bu, saya tidak ingin Kak Haryo semakin terpukul dengan kejadian yang menimpanya, Ini hanyalah ujian dari Alloh, Bu, lagi pula pesan dokter mengatakan Kak Haryo butuh banyak motivasi bukan tangisan seperti itu”

“Ah, sudah, kamu pasti bohong, senyummu hanya pura-pura, kamu pasti senang jika anakku mati hartanya akan berpindah ke tanganmu!”

Kalimat-kalimat yang diucapkan sang Ibu mertua bak halilintar di siang bolong, Siwi hanya bisa menangis pasrah, berharap suatu saat sang Ibu mertua tau bahwa ia tulus mencintai Haryo, bukan karena harta, tapi atas dasar cinta.

=o0o=

Berusaha tidak memedulikan perkataan sang Ibu mertua, Siwi dengan tekun merawat dan menemani sang suami dalam masa penyembuhannya.

Kecelakaan pesawat itu, sepertinya mengganggu kerja saraf dari Haryo, Haryo bak mayat hidup yang kehilangan satu kaki, tapi berkat Siwi kondisi Haryo berangsur-angsur membaik.

Haryo bisa lebih banyak tersenyum ketika berada di dekat Siwi.

Haryo teringat pada oleh-oleh yang ingin diberikannya kepada Siwi sepulang dari Malaysia, Ia meminta Siwi mengantarkannya menuju koper yang dibawanya saat di Malaysia.

Siwi pun mengambil koper yang diminta suaminya, untung saja dokumen penting dan koper masih bisa terselamatkan.

“Ini apa Kak?” tanya Siwi kebingungan menerima hadiah dari Haryo.

Haryo hanya tersenyum, dan memberikan isyarat “Bukalah”

Siwi pun membuka hadiah tersebut dan didapatinya baju daster untuk wanita hamil. Siwi tersenyum, mukanya memerah, Haryo pun mendekati Siwi, pelukan sayang dan mesra menemani senyum bahagia Siwi.

Sang Ibu mertua melihat kejadian itu, dan menatap dengan mata sinis, seolah masih tidak percaya kalau Siwi benar-benar tulus mencintai Haryo.

=o0o=

“Siwi, kemari!” teriak sang Ibu mertua, memecah keheningan pagi.

“Pel lantai ini!, hari ini Ibu mau kedatangan tamu!”
“Baik, Bu.. ada berapa orang Bu? Mau saya siapkan makanannya juga?”
“Oh, baguslah kalau kamu sudah tau tugasmu, Iya, siapkan makanannya tapi jangan masakan buatanmu! beli saja di warung makan, suruh Bik Inah bantuin kamu!”

“Baik Bu” Siwi mengangguk pelan.

Haryo melihat apa yang dilakukan Ibunya kepada Siwi, Haryo hanya bisa menggelengkan kepala, ternyata selama ini, Ibunya hanya menganggap sang menantu tak lebih dari seorang pembantu.

Haryo ingin Siwi tidak menuruti perintah Ibunya, namun Siwi hanya tersenyum
“Kak, aku mencintaimu konsekuensinya aku juga harus mencintai keluargamu termasuk Ibumu, bagi aku, Ibumu adalah ibuku juga, semoga dengan begini Ibu bisa tau kalau aku menyayanginya sama seperti aku menyayangimu.”

Sejak diterima menjadi menantu di keluarga Haryo, Siwi yang tak lagi memiliki ayah dan ibu, telah menganggap Ibu mertuanya sebagai Ibunya sendiri.
Walaupun sering mendapat perlakuan yang tak semestinya sebagai seorang menantu, Siwi tidak banyak mengeluh.
Keluhan hanya disampaikan kepada Sang Mendengar keluh kesah manusia, disetiap kesempatan ia berdoa untuk kesehatan Ibu mertua dan Haryo suaminya tercinta.

=o0o=

Sang Ibu mertua mulai lupa kalau anaknya Haryo masih sakit, ia kembali menjadi Ibu yang jahat bagi Siwi, kali ini ia berani menunjukan ketidaksukaannya didepan Haryo.

Sang Ibu mertua ingin menunjukkan kalau Siwi hanya mencintai harta keluarga mereka bukan dia dan Haryo. Tapi semakin sang Ibu mertua memperlakukan Siwi tidak adil, semakin besar pula rasa sayang Haryo kepada Siwi.

Suatu ketika sang Ibu mertua melihat Siwi tidur terlelap dikursi, padahal ia sangat kelelahan selepas mencuci pakaian, mengepel dan menyiapkan makanan untuk Haryo, namun sang Ibu mertua menganggap Siwi malas-malasan, kemudian dengan caci maki dan perkataan yang tidak mengenakan, lagi-lagi soal mengambil harta keluarga sang Ibu mertua menghardik Siwi.

Haryo yang mengetahui bahwa istrinya tidak bersalah, beranjak dari kursi roda dan membanting vas bunga untuk menghentikan teriakan Ibunya kepada Siwi yang terdiam menerima perlakuan sang Ibu mertua.

“Cukup!” kata pertama yang dikeluarkan Haryo semenjak kecelakaan pesawat.

“Kalau Ibu tidak suka dengan Siwi kami akan pindah!” dengan terbata-bata Haryo mencurahkan emosinya kepada sang Ibu.

Sang Ibu terdiam, tidak disangka anaknya berani menentangnya, pertama kali dalam hidupnya, sang anak membuatnya tersakiti.

“Kak, sudahlah! Maksud ibu baik agar aku lebih rajin bekerja” ucap Siwi mencoba meredam emosi sang suami.

=o0o=

Semenjak ditinggalkan sang suami, Ibunya Haryo hanya dapat memendam kesedihan, cemoohan dari lingkungan sekitar karena ia menerima menantu dari keluarga miskin seakan menurunkan citranya dikalangan ibu-ibu pengusaha.

“Bu, biar pun Siwi berasal dari golongan tidak mampu, tapi aku tidak pernah melihat dia dari situ, aku mencintai dia karena akhlak dan kebaikannya, selama ini Siwi mencoba bersabar menerima perlakuan tidak menyenangkan dari Ibu, tapi Ibu tidak pernah mengerti” kata Haryo seraya menahan sakit.

“Kecurigaan Ibu kepada Siwi dan terlalu mudahnya Ibu terhasut omongan orang yang menyebabkan hati Ibu terkunci” ucap Haryo.

Sang Ibu tertegun menatap wajah anaknya. Air matanya mulai menetes.

“Bu, berikanlah kesempatan kepada Siwi untuk berbakti pada Ibu dengan posisinya sebagai menantu, terimalah ia, Bu” pinta Haryo seraya memeluk Ibunya.

“Bu, maafkan jika aku banyak salah selama ini padamu, aku akan berusaha menjadi menantumu yang baik” ucap Siwi yang juga ikut memeluk sang Ibu mertua.

Sang Ibu mertua menangis dan memeluk keduanya. Kesabaran Siwi menerima perlakuan sang mertua membuat sang mertua sadar bahwa ia telah salah memperlakukan menantunya.

“Nak, semoga cucuku mengenalku sebagai nenek yang baik” ucap sang Ibu mertua.

Siwi dan Haryo tersenyum mendengar perkataan sang Ibu mertua.

-Pb-



Tidak ada komentar:

Posting Komentar