Perjuangan seorang wanita adalah ketika ia mampu
menjaga perasaan pasangan, dirinya dan anak-anaknya juga perasaan sang mertua.
“Menantu macam apa kamu? Masak aja ga becus!”
Sudah kesekian kali Siwi dimarahi oleh Ibu
mertuanya, kali ini soal masakannya, sehati-hati apapun Siwi memasak pasti ada
saja yang dikritik oleh Ibu mertuanya mulai dari cara memasak, cara
membersihkan dapur, hingga rasa masakan. Tidak hanya soal memasak bahkan
caranya berpakaian pun jadi kritikan pedas Ibu mertuanya.
“Warna baju kamu itu enggak matching sama
rok yang kamu pakai! Ganti sana!” perintah sang ibu mertua, Siwi hanya
tertunduk mengikuti apa perintah sang Ibu mertua. Kalau bukan karena rasa cinta
dan hormatnya kepada Haryo suaminya Siwi pasti sudah kabur dari rumah.
Memang sejak pernikahannya, sang Ibu mertua tidak
menyukai Siwi, entah apa sebabnya tapi menurut isu yang beredar, semua
disebabkan Siwi berasal dari keluarga tidak mampu, sementara Haryo adalah anak
seorang pengusaha dan sang Ibu mertua merupakan kalangan terpandang diantara
kumpulan istri-istri para pengusaha. Karena Haryo nekad melamar Siwi, Siwi
menjadi bahan gunjingan di perkumpulan istri-istri pengusaha.
“Jeng, bagaimana sih, mau aja menerima menantu
kayak Siwi, apa Jeng enggak takut miskin nantinya?”
Pertanyaan itu menghantui Ibu mertua Siwi, hingga
akhir sang Ibu mertua hanya bisa melampiaskan kekesalannya pada Siwi.
=o0o=
Kriing!! suara telepon memecah ketegangan didalam
dapur.
“Angkat tuh teleponnya!” perintah Ibu mertua
kepada Siwi yang terdiam disudut dapur.
“Assalamu'alaikum” terdengar suara merdu nan
menenangkan dari seberang sana.
“Wa'alaikum salam, Kak Haryo apa kabar?” Siwi
tersenyum bahagia mendengar suara suaminya yang kini berada di Malaysia.
“Alhamdulillah, aku baik Dik, kamu bagaimana?”
Kakak dan Adik begitulah panggilan sayang antara
keduanya, Siwi dan Haryo, Haryo memang sangat mencintai Siwi begitu juga dengan
Siwi, tapi sayang Ibunya Haryo kurang suka terhadap kedudukan Siwi sebagai anak
dari golongan tidak mampu.
“Alhamdulillah, aku baik-baik saja kak?” ucap Siwi
kepada suaminya, Ia tidak ingin Haryo tahu kalau Ibunya berlaku tidak
menyenangkan kepada Siwi, selama dalam hal wajar Siwi menerima perlakuan Ibu
mertuanya.
“InsyaAlloh, minggu depan aku pulang ke Indonesia,
masih ada beberapa hal yang harus aku selesaikan di Malaysia, Jaga dirimu
baik-baik ya.., Oh iya aku ingin bicara dengan Ibu, bisa berikan teleponnya ke
Ibu?”
“Iya, tunggu sebentar Kak”
Siwi memberikan telepon ke Ibu mertuanya, dengan
tampang sinis Ibu mertuanya mengambil gagang telepon dari Siwi, ditelepon Ibu
mertuanya nampak berbicara biasa saja, seperti tidak terjadi apa-apa selama
ini, Siwi hanya menghela nafas panjang mendengar tawa ramah Ibu mertuanya saat
menelepon anaknya.
“Mudah-mudahan suatu hari nanti, Ibu mencintaiku
sama seperti mencintai anaknya” doa Siwi dalam hati.
=o0o=
Hari demi hari berlalu, sudah tiba waktunya Haryo
pulang dari Malaysia.
“Mudah-mudahan dia suka oleh-oleh ini.” Haryo
tersenyum dalam hati membayangkan wajah istri tercinta.
“Pak Haryo, saatnya kita berangkat ke bandara”
“Oh, iya, tunggu sebentar, aku ingin memastikan
tidak ada barang yang tertinggal”
Haryo dan pegawainya menuju bandara Kuala Lumpur,
Malaysia, mereka menyewa pesawat menuju Jakarta.
Sementara itu, di rumah, Siwi sedang dikurung di
dalam kamar oleh Ibu mertuanya, di ruang tamu sedang ada pertemuan antara
kelompok istri-istri pengusaha, Ibu mertuanya tidak mau Ibu-ibu pengusaha yang
lain melihat Siwi di rumah tersebut.
“Jeng, menantumu kemana? Kok enggak ada dirumah?”
“Sedang berlibur sama suaminya ke Malaysia” jawab
sang Ibu mertua seraya tersenyum dingin.
“Beruntung sekali ya, menantumu yang miskin itu,
kini bisa hidup mewah bak putri raja”
Perkataan sederhana, namun cukup menyakitkan bagi
sang Ibu mertua “menantumu yang miskin?” kalimat itu semakin teringang di
kepala sang Ibu mertua.
=o0o=
Suara telepon berdering kencang, tak seperti
biasanya, seperti akan ada kiriman kabar yang tidak menyenangkan.
“Assalamu'alaikum”
“Wa'alaikumsalam.. apa benar ini nomer telepon
rumah Bapak Haryo Susanto” suara seseorang terdengar dari dalam telepon.
“Iya, benar. Ini dengan Ibunya, ada apa ya Pak?”
“Ibu, mohon ketabahannya ya.. pesawat yang
ditumpangi anak Ibu tergelincir di bandara”
“Apa? Anakku kecelakaan!” tidak sempat mendengar
cerita lengkapnya, sang Ibu mertua pingsan.
Siwi yang terkaget melihat Ibu mertuanya pingsan,
mengambil telepon dan menanyakan kondisi Haryo
“Hallo, Pak, ini istrinya Pak Haryo, kondisi suami
saya bagaimana Pak?”
“Alhamdulillah, suami Ibu selamat dari kecelakaan,
cuma kaki kanannya terpaksa diamputasi karena patah terjepit di dalam pesawat.”
Siwi menahan rasa sedihnya, Ia segera bergegas
menuju rumah sakit dengan diantar supir pribadi keluarga Haryo, sang Ibu mertua
masih tak sadarkan diri, Siwi membawa sang Ibu mertua untuk dirawat dengan baik
di rumah sakit.
=o0o=
Di rumah sakit, setelah menyerahkan perawatan sang
Ibu mertua ke suster, Siwi bergegas menuju kamar tempat Haryo dirawat.
Siwi terdiam, balutan infus masih menyelimuti
tubuh Haryo, darah segar meresap dibalik kain kasa dan kapas yang digunakan
untuk menutupi luka.
“Kak..” ucap Siwi seraya memeluk tubuh sang suami.
“Pak Haryo sudah baikan, mungkin hanya lelah saja
akibat trauma, tolong jangan buat dia stress, dia baru saja kehilangan satu
kakinya, dan ia masih belum bisa berkomunikasi dengan lancar karena ada
gangguan di pita suaranya” kata dokter kepada Siwi.
Siwi mengangguk pelan, mendengar pesan dari
dokter.
Haryo pun terbangun, ia memeluk erat tubuh
istrinya. Siwi menguraikan air mata “Alhamdulillah Kak dirimu selamat”
Haryo tersenyum. Tak ada sepatah kata yang
diucapkannya.
=o0o=
Sepulang dari rumah sakit, tak henti-hentinya sang
Ibu mertua menangis, melihat kondisi anaknya yang kini cacat.
Siwi mencoba menenangkan kesedihan sang Ibu mertua
“Sudah Bu, jangan menangis seperti itu,lebih baik
bersyukur Kak Haryo masih selamat, ini hanya ujian dari Alloh, Bu” ucap Siwi
berharap sang Ibu mertua mau mendengarkan tapi tidak seperti yang diharapkan.
“Syukur, syukur! Kamu senang ya melihat anakku
cacat?”
“Astagfirullah, Ibu kok berpikiran seperti itu?”
“Sejak dari rumah sakit, dirimu tidak pernah
terlihat menangis, hanya senyuman yang kamu berikan kepada Haryo anakku!”
“Bu, saya tidak ingin Kak Haryo semakin terpukul
dengan kejadian yang menimpanya, Ini hanyalah ujian dari Alloh, Bu, lagi pula
pesan dokter mengatakan Kak Haryo butuh banyak motivasi bukan tangisan seperti
itu”
“Ah, sudah, kamu pasti bohong, senyummu hanya pura-pura,
kamu pasti senang jika anakku mati hartanya akan berpindah ke tanganmu!”
Kalimat-kalimat yang diucapkan sang Ibu mertua bak
halilintar di siang bolong, Siwi hanya bisa menangis pasrah, berharap suatu
saat sang Ibu mertua tau bahwa ia tulus mencintai Haryo, bukan karena harta,
tapi atas dasar cinta.
=o0o=
Berusaha tidak memedulikan perkataan sang Ibu
mertua, Siwi dengan tekun merawat dan menemani sang suami dalam masa
penyembuhannya.
Kecelakaan pesawat itu, sepertinya mengganggu
kerja saraf dari Haryo, Haryo bak mayat hidup yang kehilangan satu kaki, tapi
berkat Siwi kondisi Haryo berangsur-angsur membaik.
Haryo bisa lebih banyak tersenyum ketika berada di
dekat Siwi.
Haryo teringat pada oleh-oleh yang ingin
diberikannya kepada Siwi sepulang dari Malaysia, Ia meminta Siwi
mengantarkannya menuju koper yang dibawanya saat di Malaysia.
Siwi pun mengambil koper yang diminta suaminya,
untung saja dokumen penting dan koper masih bisa terselamatkan.
“Ini apa Kak?” tanya Siwi kebingungan menerima
hadiah dari Haryo.
Haryo hanya tersenyum, dan memberikan isyarat
“Bukalah”
Siwi pun membuka hadiah tersebut dan didapatinya
baju daster untuk wanita hamil. Siwi tersenyum, mukanya memerah, Haryo pun
mendekati Siwi, pelukan sayang dan mesra menemani senyum bahagia Siwi.
Sang Ibu mertua melihat kejadian itu, dan menatap
dengan mata sinis, seolah masih tidak percaya kalau Siwi benar-benar tulus
mencintai Haryo.
=o0o=
“Siwi, kemari!” teriak sang Ibu mertua, memecah
keheningan pagi.
“Pel lantai ini!, hari ini Ibu mau kedatangan
tamu!”
“Baik, Bu.. ada berapa orang Bu? Mau saya siapkan
makanannya juga?”
“Oh, baguslah kalau kamu sudah tau tugasmu, Iya,
siapkan makanannya tapi jangan masakan buatanmu! beli saja di warung makan,
suruh Bik Inah bantuin kamu!”
“Baik Bu” Siwi mengangguk pelan.
Haryo melihat apa yang dilakukan Ibunya kepada
Siwi, Haryo hanya bisa menggelengkan kepala, ternyata selama ini, Ibunya hanya
menganggap sang menantu tak lebih dari seorang pembantu.
Haryo ingin Siwi tidak menuruti perintah Ibunya,
namun Siwi hanya tersenyum
“Kak, aku mencintaimu konsekuensinya aku juga
harus mencintai keluargamu termasuk Ibumu, bagi aku, Ibumu adalah ibuku juga,
semoga dengan begini Ibu bisa tau kalau aku menyayanginya sama seperti aku
menyayangimu.”
Sejak diterima menjadi menantu di keluarga Haryo,
Siwi yang tak lagi memiliki ayah dan ibu, telah menganggap Ibu mertuanya
sebagai Ibunya sendiri.
Walaupun sering mendapat perlakuan yang tak
semestinya sebagai seorang menantu, Siwi tidak banyak mengeluh.
Keluhan hanya disampaikan kepada Sang Mendengar
keluh kesah manusia, disetiap kesempatan ia berdoa untuk kesehatan Ibu mertua
dan Haryo suaminya tercinta.
=o0o=
Sang Ibu mertua mulai lupa kalau anaknya Haryo
masih sakit, ia kembali menjadi Ibu yang jahat bagi Siwi, kali ini ia berani
menunjukan ketidaksukaannya didepan Haryo.
Sang Ibu mertua ingin menunjukkan kalau Siwi hanya
mencintai harta keluarga mereka bukan dia dan Haryo. Tapi semakin sang Ibu
mertua memperlakukan Siwi tidak adil, semakin besar pula rasa sayang Haryo
kepada Siwi.
Suatu ketika sang Ibu mertua melihat Siwi tidur
terlelap dikursi, padahal ia sangat kelelahan selepas mencuci pakaian, mengepel
dan menyiapkan makanan untuk Haryo, namun sang Ibu mertua menganggap Siwi
malas-malasan, kemudian dengan caci maki dan perkataan yang tidak mengenakan,
lagi-lagi soal mengambil harta keluarga sang Ibu mertua menghardik Siwi.
Haryo yang mengetahui bahwa istrinya tidak
bersalah, beranjak dari kursi roda dan membanting vas bunga untuk menghentikan
teriakan Ibunya kepada Siwi yang terdiam menerima perlakuan sang Ibu mertua.
“Cukup!” kata pertama yang dikeluarkan Haryo
semenjak kecelakaan pesawat.
“Kalau Ibu tidak suka dengan Siwi kami akan
pindah!” dengan terbata-bata Haryo mencurahkan emosinya kepada sang Ibu.
Sang Ibu terdiam, tidak disangka anaknya berani
menentangnya, pertama kali dalam hidupnya, sang anak membuatnya tersakiti.
“Kak, sudahlah! Maksud ibu baik agar aku lebih
rajin bekerja” ucap Siwi mencoba meredam emosi sang suami.
=o0o=
Semenjak ditinggalkan sang suami, Ibunya Haryo
hanya dapat memendam kesedihan, cemoohan dari lingkungan sekitar karena ia
menerima menantu dari keluarga miskin seakan menurunkan citranya dikalangan
ibu-ibu pengusaha.
“Bu, biar pun Siwi berasal dari golongan tidak
mampu, tapi aku tidak pernah melihat dia dari situ, aku mencintai dia karena
akhlak dan kebaikannya, selama ini Siwi mencoba bersabar menerima perlakuan
tidak menyenangkan dari Ibu, tapi Ibu tidak pernah mengerti” kata Haryo seraya
menahan sakit.
“Kecurigaan Ibu kepada Siwi dan terlalu mudahnya
Ibu terhasut omongan orang yang menyebabkan hati Ibu terkunci” ucap Haryo.
Sang Ibu tertegun menatap wajah anaknya. Air
matanya mulai menetes.
“Bu, berikanlah kesempatan kepada Siwi untuk
berbakti pada Ibu dengan posisinya sebagai menantu, terimalah ia, Bu” pinta
Haryo seraya memeluk Ibunya.
“Bu, maafkan jika aku banyak salah selama ini
padamu, aku akan berusaha menjadi menantumu yang baik” ucap Siwi yang juga ikut
memeluk sang Ibu mertua.
Sang Ibu mertua menangis dan memeluk keduanya.
Kesabaran Siwi menerima perlakuan sang mertua membuat sang mertua sadar bahwa
ia telah salah memperlakukan menantunya.
“Nak, semoga cucuku mengenalku sebagai nenek yang
baik” ucap sang Ibu mertua.
Siwi dan Haryo tersenyum mendengar perkataan sang
Ibu mertua.
-Pb-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar