Selasa, 10 Desember 2013

Negeriku, Harapanku

Hari ini Aku, Aldo dan Bari akan bersiap berangkat ke Jakarta dari kota Depok. Kami adalah pecinta sepakbola tim nasional sejati, sepertinya tidak ada yang mencintai sepakbola sebagaimana kami cinta. Bagaimana tidak, sejak pagi kami telah bersiap untuk berangkat menuju Gelora Bung Karno tempat diselenggarakannya pertandingan Internasional antara Tim Nasional Indonesia dengan Tim Nasional Qatar setelah hari sebelumnya kami mengantri untuk mendapatkan tiket menonton pada hari ini. Walaupun Tim Nas sudah kalah di dua pertandingan sebelumnya, kami tetap bertekad untuk datang ke stadion untuk mendukung Tim Nas Indonesia.
“Do, bagaimana spanduk sudah siap?” kata Bari kepada Aldo.
“Belum. Gue kekurangan cat nih”
Bari adalah ketua persatuan sepakbola di lingkungan kampus kami,Aku mengenal dia sejak sekolah dasar. Bari memang menyukai sepakbola dan sering menjuarai sepakbola tingkat kecamatan se-kota Depok, Dia teman yang baik, Dia sangat suka sepakbola. Sementara Aldo adalah temanku yang ku kenal sejak sekolah menengah atas, Aldo juga suka sepakbola, dia sebenarnya lebih suka sepakbola luar negeri dari pada sepakbola dalam negeri tapi kalau urusan Tim Nas dia adalah juaranya. Bari dan Aldo jadi patner yang baik dalam hal sepakbola Tim Nas.
Ketika kami sedang menyiapkan spanduk untuk dukungan pada Tim Nas, tiba-tiba seseorang datang menegur kami.
“Hei ngapain kalian bertiga berangkat ke GBK , kemarin-kemarin kan Tim Nas udah kalah, paling hasilnya juga sama kalah juga, mending nonton dari TV hemat biaya, ga perlu ngabisin uang” celetuk ibu kost kami yang melihat kami sedang asik mempersiapkan spanduk dukungan untuk Tim Nas.
“Ah ibu bisa aja, lebih asik nonton di stadion bu, suasananya lebih terasa” kata Aldo menyakinkan Ibu Yani.
“terserah kalian lah, ibu cuma menyarankan, kalian kan masih mahasiswa uangnya sayang kalau buat nonton bola, mending buat beli buku..” kata Ibu Yani menasehati kami.
“Tenang bu, uang buku beda kok sama uang nonton” kataku kepada Ibu Yani.
Sambil menggelengkan kepala, Ibu Yani kembali melanjutkan aktifitasnya menyiapkan dagangannya setelah gagal menasehati kami yang memang sudah bertekad untuk datang ke stadion GBK Jakarta untuk mendukung Tim Nas.
“Bar, mobilnya udah siap nih. Gue udah tempel tulisan “HIDUP TIMNAS” dan pasang bendera merah putih” kataku kepada Bari.
“Ok, jadi semua sudah siap nih, kita tinggal berangkat siang ini” Kata Bari sambil melihat mobil jeep yang kami bawa untuk menuju GBK Jakarta.
Tiba-tiba Aldo mengatakan “Belum semua siap, ada yang kurang!”
“Apa yang kurang do, bendera udah, spanduk dukungan udah, apalagi?” kataku bertanya kepada Aldo yang mengambil sesuatu dari dalam tasnya.
“Ini belum dipasang” kata Aldo sambil menunjukkan kartu merah bertuliskan aksara china, “ini artinya keberuntungan, kalau kita pasang ini di mobil dan kita bawa saat menonton pertandingan Tim Nas kita akan mendapat keberuntungan” kata Aldo menjelaskan.
“Seperti orang kuno saja, pakai jimat-jimatan segala do” celetukku.
“Ini bukan sekedar jimat Mat. Kalau kita pasang ini, Tim Nas akan menang” kata Aldo yakin.
“Menang kalahnya Tim Nas dilapangan bukan karena jimatmu, tapi karena usaha mereka dan takdir Tuhan atas pertandingan ini”
“Ya sudah kalau tidak percaya, Aku akan tetap memasangnya di mobil” kata Aldo sedikit meninggikan nada bicaranya.
“Ya sudah Aku tidak mau ribut, terserah kamu itu keyakinanmu, Aku tidak akan terlalu membahasnya” kataku mencoba untuk menenangkan keadaan.
“Ah kalian ini, begituan saja dibahas” kata Bari memotong pembicaraan kami.
“Ayo kita berangkat!” lanjut Bari.
***
Aldo memasang kartu merah bertuliskan aksara china di kaca depan mobil jeep yang kami tunggangi. Mobil jeep ini milik Bari, ia sengaja mengecat mobil ini dengan warna merah putih pada semua sisinya untuk menunjukkan betapa ia cinta pada bangsa ini. Meski sebenarnya mobil jeep yang ia punya bukan buatan lokal, tapi menurut Bari setidaknya dengan mengecatnya berwarna merah putih sudah menunjukkan bahwa dia sangat cinta pada Indonesia.
Deru mesin jeepnya terdengar merdu, meski ini mobil tua yang diberikan ayahnya Bari. Mobil ini terawat dengan baik, sehingga nyaman untuk kami kendarai menuju stadion Gelora Bung Karno Jakarta. Kami bergabung dengan rombongan supoter Tim Nas yang berasal dari penjuru kota Jabodetabek. Kami bersama-sama menuju stadion GBK ada yang berjalan kaki, ada yang menggunakan sepeda, ada yang menggunakan motor, ada yang menggunakan becak, ada yang menggunakan mobil sampai menggunakan mobil bis yang dipadati puluhan orang dan belasan orang diatap mobil sambil meneriakkan yel-yel kemenangan untuk Indonesia, padahal hari masih siang namun ribuan orang telah berduyun-duyun memadati jalan di wilayah stadion GBK Jakarta.
Harapan besar memang bertumpu pada pundak Tim Nas Indonesia, masyarakat sangat haus akan prestasi Tim Nas dimata dunia, menang pada hari ini saja itu merupakan suatu kebanggaan tersendiri untuk kami para supporter yang menonton pertandingan.
Akhirnya Aku, Aldo dan Bari tiba di GBK Jakarta, setelah kami memarkirkan mobil kami bergegas menuju tempat penukaran tiket. Setelah mengantri untuk mendapatkan tiket kami bersiap bergabung dengan supoter dari penjuru tanah air, tua, muda, kaya, miskin semua bersatu di tempat itu untuk mendukung Tim Nas.
“Saudara-saudara kali ini kita akan mendukung Tim Nas untuk sekian kalinya meski Tim Nas kita sering kalah namun dihati kita Tim Nas nomer 1, kita ingin melihat Tim Nas kita berjuang dengan sekuat tenaga untuk memperoleh hasil maksimal, karena manusia hanya bisa berusaha dan Tuhanlah yang menentukan segalanya. Maka dari pada itu saya mengajak kepada rekan-rekan sekalian untuk mendoakan agar pada malam hari ini Tim Nas berhasil mengalahkan Qatar di stadion kebanggaan kita GBK Jakarta. Mari semua kita berdoa. Berdoa dimulai” pidato dari jendral lapangan supporter yang diiringi doa.
Kami semua berdoa dengan khusyuk agar malam ini Tim Nas bisa menang. “Berdoa selesai, Hidup Tim Nas!” teriak Bang Jaka sang jendral lapangan penuh semangat. Aku, Aldo dan Bari berada dipinggir barisan supporter. Kami sangat kagum dengan Bang Jaka ia mampu memimpin supporter sepakbola yang berasal dari berbagai macam kalangan. Ia mampu menciptakan atmosfer semangat untuk para supporter mendukung Tim Nas, orasinya yang menggebu-gebu dan penuh rasa juang membuat hati para supporter yang mendengarkan terhanyut dalam gelora semangat untuk mendukung Tim Nas.
Adzan asharpun berkumandang kami bersiap untuk shalat. Aku dan Bari adalah seorang muslim sementara Aldo adalah seorang penganut agama Budha. Namun kami tetap saling menghargai satu sama lain, ketika Aku dan Bari shalat, Aldo dengan ikhlas menjaga barang-barang dan peralatan supporter yang kami bawa. Aldo sudah paham bahwa kami seorang muslim punya kewajiban untuk menghadap Tuhan selama lima kali sehari dan toleransi itu ia tunjukan juga saat kami kost bersama. Kadang Aku atau Bari juga mengantar Aldo untuk beribadah di Kuil/Vihara. Kami tidak segan untuk sekedar mengantarkan teman kami menuju tempat ibadahnya, karena kami meyakini bahwa agamamu adalah agamamu dan agamaku adalah agamaku, itu cukup bagi kami.
“Do, nitip sandal gue ya, maklum sandal baru gue takut ilang kalau ditaro di mushola.” Kata Bari kepada Aldo.
“Siap Bar.” Aldo mengiyakan.
Selesai shalat kami bergegas menuju tempat antrian masuk ke dalam GBK, kami mempersiapkan tiket asli yang tadi kami ambil. Hari ini lumayan padat, penonton berdesakan untuk masuk kedalam stadion, ada yang sabar, ada juga yang tidak sabar, bahkan memaki-maki petugas karena terlalu lama mengantri. Aku dan teman-temanku sih biasa saja menanggapi hal tersebut, lamanya antrian dan panasnya matahari sudah menjadi makanan kami sejak kami memutuskan jadi supporter fanatik Tim Nas.
Setelah melalui antrian panjang dan melelahkan kami akhirnya bisa masuk ke dalam stasion GBK Jakarta, hati kami bergetar melihat puluhan ribu penonton berbaju merah memadati stadion terbesar di Indonesia ini.
Kami bergabung bersama supporter yang dikomandoi Bang Jaka, kami menyanyikan yel yel “GARUDA DI DADAKU, GARUDA KEBANGGAANKU, KUYAKIN HARI INI PASTI MENANG” sorak-sorai penonton dan letusan kembang api mewarnai pembukaan laga ini. Akhirnya laga yang kami tunggu-tunggu sudah dimulai. Tim Nas dengan kostum kebanggaannya merah putih menghadapi kesebelasan Qatar yang berkostum putih hijau. Para pemain berjajar di lapangan seraya memberikan hormat kepada para supporter yang datang, dalam beberapa detik semua hening karena akan kami semua akan mendengarkan lagu kebangsaan dari kedua Negara. Bagian ini yang sangat menyentuh bagi Aku, Aldo dan Bari, kami menyanyikan lagu Indonesia dengan hikmad. Lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan bersama-sama oleh puluhan ribu orang membangkitkan semangat kami dan Tim Nas. Semua penonton bersorak dan bertepuk tangan.
Peluit pertandingan telah dibunyikan penonton semakin bersemangat untuk mendukung laga Tim Nas melawan Qatar. Yel-yel bersautan baik dari tribun atas ataupun bawah, semua menyatakan satu Indonesia hari ini pasti menang lagu nasional supporter sepakbola pun berkumandang “GARUDA DI DADAKU , GARUDA KEBANGGAANKU, KUYAKIN HARI INI PASTI MENANG”, riuh, gemuruh mewarnai laga Tim Nas kali ini.
***
 “Aldo, loe lihat si Bari ga?” kataku kepada Aldo yang tengah asyik memperhatikan pertandingan.
“Lah, bukannya dia tadi ada disini ya?” kata Aldo.
“Iya gua juga nyangkanya dia ada disini, ternyata udah ilang dianya” kataku sama-sama bingung kemana perginya Bari.
Kami melihat kanan-kiri kami namun tidak ada sosok yang kami cari, lalu pandangan kami tertuju pada seseorang yang megang pengeras suara di depan.
“Do, itu Bari, do” kataku semangat menunjuk seseorang didepan.
“Mana?” kata Aldo sambil mencoba membetulkan posisi kacamatanya.
“Wah iya itu Bari, Mat.. kereeen dia jadi Jendral sekarang”
Kawan-kawan semua ayo kita dukung Tim Nas kita, mari kita menyanyi bersama-sama untuk memberikan semangat kepada Tim Nas “GARUDA DI DADAKU, GARUDA KEBANGGAANKU, KUYAKIN HARI INI PASTI MENANG” teriak Bari lantang dan penuh semangat, semua supporter ikut bernyanyi begitupun Aku dan Aldo. Kami merasakan semangat yang luar biasa dari seluruh penonton yang berada di stadion ini.
Pertandingan berjalan seru kini memasuki menit-menit akhir satu gol pun belum tercipta dalam laga ini, akhirnya Indonesia mendapat kesempatan tendangan bebas di daerah dekat kotak pinalti lawan, seorang algojo Tim Nas bersiap untuk menendang bola. Ia mengangkat tangan seraya meminta dukungan dari seluruh supporter yang hadir di stadion. Kami semua bergemuruh dan berteriak untuk mendukung sang algojo dilapangan. Bola dilesakkan. Semua penonton terdiam menahan nafasnya. Dan “Gooooooollllllllllllllllllllllllllllllllllllllll….”, Bola meluncur deras menuju gawang kipper Qatar. Semua penonton berdiri dan bersorak bergembira, semua bertepuk tangan mengangkat tangan dan mengatakan “HIDUP INDONESIA!!”. Aku, Aldo dan Bari terharu, akhirnya kami bisa melihat Tim Nas menang. Kami makin yakin akan terus bertekad mendukung Tim Nas. Stadion GBK Jakarta ini jadi saksi bagaimana kekuatan sebagian rakyat bisa membangkitkan semangat sebelas pemain yang berdiri dilapangan. Di dalam stadion itu tidak peduli anda berasal darimana, beragama apa, memiliki latar pekerjaan dan pendidikan seperti apa, kaya, dan miskin semua tidak dipedulikan yang ada adalah satu dukungan untuk Tim Nasional Indonesia dan GBK Jakarta adalah salah satu tempat bersejarah yang menjadi saksi perjuangan Tim Nasional Sepakbola Indonesia meraih prestasi di kancah Internasional.
-Pb-

Hati Sang Bidadari

Perjuangan seorang wanita adalah ketika ia mampu menjaga perasaan pasangan, dirinya dan anak-anaknya juga perasaan sang mertua.

“Menantu macam apa kamu? Masak aja ga becus!”

Sudah kesekian kali Siwi dimarahi oleh Ibu mertuanya, kali ini soal masakannya, sehati-hati apapun Siwi memasak pasti ada saja yang dikritik oleh Ibu mertuanya mulai dari cara memasak, cara membersihkan dapur, hingga rasa masakan. Tidak hanya soal memasak bahkan caranya berpakaian pun jadi kritikan pedas Ibu mertuanya.

“Warna baju kamu itu enggak matching sama rok yang kamu pakai! Ganti sana!” perintah sang ibu mertua, Siwi hanya tertunduk mengikuti apa perintah sang Ibu mertua. Kalau bukan karena rasa cinta dan hormatnya kepada Haryo suaminya Siwi pasti sudah kabur dari rumah.

Memang sejak pernikahannya, sang Ibu mertua tidak menyukai Siwi, entah apa sebabnya tapi menurut isu yang beredar, semua disebabkan Siwi berasal dari keluarga tidak mampu, sementara Haryo adalah anak seorang pengusaha dan sang Ibu mertua merupakan kalangan terpandang diantara kumpulan istri-istri para pengusaha. Karena Haryo nekad melamar Siwi, Siwi menjadi bahan gunjingan di perkumpulan istri-istri pengusaha.

“Jeng, bagaimana sih, mau aja menerima menantu kayak Siwi, apa Jeng enggak takut miskin nantinya?”
Pertanyaan itu menghantui Ibu mertua Siwi, hingga akhir sang Ibu mertua hanya bisa melampiaskan kekesalannya pada Siwi.

=o0o=

Kriing!! suara telepon memecah ketegangan didalam dapur.
“Angkat tuh teleponnya!” perintah Ibu mertua kepada Siwi yang terdiam disudut dapur.

“Assalamu'alaikum” terdengar suara merdu nan menenangkan dari seberang sana.
“Wa'alaikum salam, Kak Haryo apa kabar?” Siwi tersenyum bahagia mendengar suara suaminya yang kini berada di Malaysia.

“Alhamdulillah, aku baik Dik, kamu bagaimana?”

Kakak dan Adik begitulah panggilan sayang antara keduanya, Siwi dan Haryo, Haryo memang sangat mencintai Siwi begitu juga dengan Siwi, tapi sayang Ibunya Haryo kurang suka terhadap kedudukan Siwi sebagai anak dari golongan tidak mampu.

“Alhamdulillah, aku baik-baik saja kak?” ucap Siwi kepada suaminya, Ia tidak ingin Haryo tahu kalau Ibunya berlaku tidak menyenangkan kepada Siwi, selama dalam hal wajar Siwi menerima perlakuan Ibu mertuanya.

“InsyaAlloh, minggu depan aku pulang ke Indonesia, masih ada beberapa hal yang harus aku selesaikan di Malaysia, Jaga dirimu baik-baik ya.., Oh iya aku ingin bicara dengan Ibu, bisa berikan teleponnya ke Ibu?”
“Iya, tunggu sebentar Kak”

Siwi memberikan telepon ke Ibu mertuanya, dengan tampang sinis Ibu mertuanya mengambil gagang telepon dari Siwi, ditelepon Ibu mertuanya nampak berbicara biasa saja, seperti tidak terjadi apa-apa selama ini, Siwi hanya menghela nafas panjang mendengar tawa ramah Ibu mertuanya saat menelepon anaknya.

“Mudah-mudahan suatu hari nanti, Ibu mencintaiku sama seperti mencintai anaknya” doa Siwi dalam hati.

=o0o=

Hari demi hari berlalu, sudah tiba waktunya Haryo pulang dari Malaysia.

“Mudah-mudahan dia suka oleh-oleh ini.” Haryo tersenyum dalam hati membayangkan wajah istri tercinta.

“Pak Haryo, saatnya kita berangkat ke bandara”

“Oh, iya, tunggu sebentar, aku ingin memastikan tidak ada barang yang tertinggal”

Haryo dan pegawainya menuju bandara Kuala Lumpur, Malaysia, mereka menyewa pesawat menuju Jakarta.

Sementara itu, di rumah, Siwi sedang dikurung di dalam kamar oleh Ibu mertuanya, di ruang tamu sedang ada pertemuan antara kelompok istri-istri pengusaha, Ibu mertuanya tidak mau Ibu-ibu pengusaha yang lain melihat Siwi di rumah tersebut.

“Jeng, menantumu kemana? Kok enggak ada dirumah?”

“Sedang berlibur sama suaminya ke Malaysia” jawab sang Ibu mertua seraya tersenyum dingin.

“Beruntung sekali ya, menantumu yang miskin itu, kini bisa hidup mewah bak putri raja”

Perkataan sederhana, namun cukup menyakitkan bagi sang Ibu mertua “menantumu yang miskin?” kalimat itu semakin teringang di kepala sang Ibu mertua.

=o0o=

Suara telepon berdering kencang, tak seperti biasanya, seperti akan ada kiriman kabar yang tidak menyenangkan.

“Assalamu'alaikum”

“Wa'alaikumsalam.. apa benar ini nomer telepon rumah Bapak Haryo Susanto” suara seseorang terdengar dari dalam telepon.

“Iya, benar. Ini dengan Ibunya, ada apa ya Pak?”

“Ibu, mohon ketabahannya ya.. pesawat yang ditumpangi anak Ibu tergelincir di bandara”

“Apa? Anakku kecelakaan!” tidak sempat mendengar cerita lengkapnya, sang Ibu mertua pingsan.

Siwi yang terkaget melihat Ibu mertuanya pingsan, mengambil telepon dan menanyakan kondisi Haryo

“Hallo, Pak, ini istrinya Pak Haryo, kondisi suami saya bagaimana Pak?”

“Alhamdulillah, suami Ibu selamat dari kecelakaan, cuma kaki kanannya terpaksa diamputasi karena patah terjepit di dalam pesawat.”

Siwi menahan rasa sedihnya, Ia segera bergegas menuju rumah sakit dengan diantar supir pribadi keluarga Haryo, sang Ibu mertua masih tak sadarkan diri, Siwi membawa sang Ibu mertua untuk dirawat dengan baik di rumah sakit.

=o0o=

Di rumah sakit, setelah menyerahkan perawatan sang Ibu mertua ke suster, Siwi bergegas menuju kamar tempat Haryo dirawat.

Siwi terdiam, balutan infus masih menyelimuti tubuh Haryo, darah segar meresap dibalik kain kasa dan kapas yang digunakan untuk menutupi luka.

“Kak..” ucap Siwi seraya memeluk tubuh sang suami.

“Pak Haryo sudah baikan, mungkin hanya lelah saja akibat trauma, tolong jangan buat dia stress, dia baru saja kehilangan satu kakinya, dan ia masih belum bisa berkomunikasi dengan lancar karena ada gangguan di pita suaranya” kata dokter kepada Siwi.

Siwi mengangguk pelan, mendengar pesan dari dokter.

Haryo pun terbangun, ia memeluk erat tubuh istrinya. Siwi menguraikan air mata “Alhamdulillah Kak dirimu selamat”

Haryo tersenyum. Tak ada sepatah kata yang diucapkannya.

=o0o=

Sepulang dari rumah sakit, tak henti-hentinya sang Ibu mertua menangis, melihat kondisi anaknya yang kini cacat.

Siwi mencoba menenangkan kesedihan sang Ibu mertua

“Sudah Bu, jangan menangis seperti itu,lebih baik bersyukur Kak Haryo masih selamat, ini hanya ujian dari Alloh, Bu” ucap Siwi berharap sang Ibu mertua mau mendengarkan tapi tidak seperti yang diharapkan.

“Syukur, syukur! Kamu senang ya melihat anakku cacat?”

“Astagfirullah, Ibu kok berpikiran seperti itu?”

“Sejak dari rumah sakit, dirimu tidak pernah terlihat menangis, hanya senyuman yang kamu berikan kepada Haryo anakku!”

“Bu, saya tidak ingin Kak Haryo semakin terpukul dengan kejadian yang menimpanya, Ini hanyalah ujian dari Alloh, Bu, lagi pula pesan dokter mengatakan Kak Haryo butuh banyak motivasi bukan tangisan seperti itu”

“Ah, sudah, kamu pasti bohong, senyummu hanya pura-pura, kamu pasti senang jika anakku mati hartanya akan berpindah ke tanganmu!”

Kalimat-kalimat yang diucapkan sang Ibu mertua bak halilintar di siang bolong, Siwi hanya bisa menangis pasrah, berharap suatu saat sang Ibu mertua tau bahwa ia tulus mencintai Haryo, bukan karena harta, tapi atas dasar cinta.

=o0o=

Berusaha tidak memedulikan perkataan sang Ibu mertua, Siwi dengan tekun merawat dan menemani sang suami dalam masa penyembuhannya.

Kecelakaan pesawat itu, sepertinya mengganggu kerja saraf dari Haryo, Haryo bak mayat hidup yang kehilangan satu kaki, tapi berkat Siwi kondisi Haryo berangsur-angsur membaik.

Haryo bisa lebih banyak tersenyum ketika berada di dekat Siwi.

Haryo teringat pada oleh-oleh yang ingin diberikannya kepada Siwi sepulang dari Malaysia, Ia meminta Siwi mengantarkannya menuju koper yang dibawanya saat di Malaysia.

Siwi pun mengambil koper yang diminta suaminya, untung saja dokumen penting dan koper masih bisa terselamatkan.

“Ini apa Kak?” tanya Siwi kebingungan menerima hadiah dari Haryo.

Haryo hanya tersenyum, dan memberikan isyarat “Bukalah”

Siwi pun membuka hadiah tersebut dan didapatinya baju daster untuk wanita hamil. Siwi tersenyum, mukanya memerah, Haryo pun mendekati Siwi, pelukan sayang dan mesra menemani senyum bahagia Siwi.

Sang Ibu mertua melihat kejadian itu, dan menatap dengan mata sinis, seolah masih tidak percaya kalau Siwi benar-benar tulus mencintai Haryo.

=o0o=

“Siwi, kemari!” teriak sang Ibu mertua, memecah keheningan pagi.

“Pel lantai ini!, hari ini Ibu mau kedatangan tamu!”
“Baik, Bu.. ada berapa orang Bu? Mau saya siapkan makanannya juga?”
“Oh, baguslah kalau kamu sudah tau tugasmu, Iya, siapkan makanannya tapi jangan masakan buatanmu! beli saja di warung makan, suruh Bik Inah bantuin kamu!”

“Baik Bu” Siwi mengangguk pelan.

Haryo melihat apa yang dilakukan Ibunya kepada Siwi, Haryo hanya bisa menggelengkan kepala, ternyata selama ini, Ibunya hanya menganggap sang menantu tak lebih dari seorang pembantu.

Haryo ingin Siwi tidak menuruti perintah Ibunya, namun Siwi hanya tersenyum
“Kak, aku mencintaimu konsekuensinya aku juga harus mencintai keluargamu termasuk Ibumu, bagi aku, Ibumu adalah ibuku juga, semoga dengan begini Ibu bisa tau kalau aku menyayanginya sama seperti aku menyayangimu.”

Sejak diterima menjadi menantu di keluarga Haryo, Siwi yang tak lagi memiliki ayah dan ibu, telah menganggap Ibu mertuanya sebagai Ibunya sendiri.
Walaupun sering mendapat perlakuan yang tak semestinya sebagai seorang menantu, Siwi tidak banyak mengeluh.
Keluhan hanya disampaikan kepada Sang Mendengar keluh kesah manusia, disetiap kesempatan ia berdoa untuk kesehatan Ibu mertua dan Haryo suaminya tercinta.

=o0o=

Sang Ibu mertua mulai lupa kalau anaknya Haryo masih sakit, ia kembali menjadi Ibu yang jahat bagi Siwi, kali ini ia berani menunjukan ketidaksukaannya didepan Haryo.

Sang Ibu mertua ingin menunjukkan kalau Siwi hanya mencintai harta keluarga mereka bukan dia dan Haryo. Tapi semakin sang Ibu mertua memperlakukan Siwi tidak adil, semakin besar pula rasa sayang Haryo kepada Siwi.

Suatu ketika sang Ibu mertua melihat Siwi tidur terlelap dikursi, padahal ia sangat kelelahan selepas mencuci pakaian, mengepel dan menyiapkan makanan untuk Haryo, namun sang Ibu mertua menganggap Siwi malas-malasan, kemudian dengan caci maki dan perkataan yang tidak mengenakan, lagi-lagi soal mengambil harta keluarga sang Ibu mertua menghardik Siwi.

Haryo yang mengetahui bahwa istrinya tidak bersalah, beranjak dari kursi roda dan membanting vas bunga untuk menghentikan teriakan Ibunya kepada Siwi yang terdiam menerima perlakuan sang Ibu mertua.

“Cukup!” kata pertama yang dikeluarkan Haryo semenjak kecelakaan pesawat.

“Kalau Ibu tidak suka dengan Siwi kami akan pindah!” dengan terbata-bata Haryo mencurahkan emosinya kepada sang Ibu.

Sang Ibu terdiam, tidak disangka anaknya berani menentangnya, pertama kali dalam hidupnya, sang anak membuatnya tersakiti.

“Kak, sudahlah! Maksud ibu baik agar aku lebih rajin bekerja” ucap Siwi mencoba meredam emosi sang suami.

=o0o=

Semenjak ditinggalkan sang suami, Ibunya Haryo hanya dapat memendam kesedihan, cemoohan dari lingkungan sekitar karena ia menerima menantu dari keluarga miskin seakan menurunkan citranya dikalangan ibu-ibu pengusaha.

“Bu, biar pun Siwi berasal dari golongan tidak mampu, tapi aku tidak pernah melihat dia dari situ, aku mencintai dia karena akhlak dan kebaikannya, selama ini Siwi mencoba bersabar menerima perlakuan tidak menyenangkan dari Ibu, tapi Ibu tidak pernah mengerti” kata Haryo seraya menahan sakit.

“Kecurigaan Ibu kepada Siwi dan terlalu mudahnya Ibu terhasut omongan orang yang menyebabkan hati Ibu terkunci” ucap Haryo.

Sang Ibu tertegun menatap wajah anaknya. Air matanya mulai menetes.

“Bu, berikanlah kesempatan kepada Siwi untuk berbakti pada Ibu dengan posisinya sebagai menantu, terimalah ia, Bu” pinta Haryo seraya memeluk Ibunya.

“Bu, maafkan jika aku banyak salah selama ini padamu, aku akan berusaha menjadi menantumu yang baik” ucap Siwi yang juga ikut memeluk sang Ibu mertua.

Sang Ibu mertua menangis dan memeluk keduanya. Kesabaran Siwi menerima perlakuan sang mertua membuat sang mertua sadar bahwa ia telah salah memperlakukan menantunya.

“Nak, semoga cucuku mengenalku sebagai nenek yang baik” ucap sang Ibu mertua.

Siwi dan Haryo tersenyum mendengar perkataan sang Ibu mertua.

-Pb-



Senin, 09 Desember 2013

Hikmah dari Tukang Bengkel

Hujan begitu lebatnya, saat itu saya sedang dalam perjalanan menuju rumah setelah pulang dari aktivitas di kampus. Sejak pagi saya memang merasakan ada yang aneh dengan motor saya, kondisi remnya sudah parah. Saat perjalanan pulang itu, tiba-tiba ada mobil mengerem di depan saya, saya seketika kaget, dan mengerem dengan tambahan "rem kaki". Alhamdulillah saya masih lolos dari tabrakan dari belakang, saat itu saya putuskan untuk berjalan pelan-pelan saja sekitar 20-30 km/jam saja, biar waktu lama yang penting segera selamat sampai rumah.

Ternyata walau sudah mengurangi kecepatan resiko tetap saja terjadi, kali ini saya menghadapi kemacetan di daerah Parung, motor saya sesekali menyenggol pengendara di depan saya, dan itu membuat saya tidak enak hati dengan mereka. Tidaklah sempat saya bilang rem motor saya bermasalah, orang yang saya tabrak sudah merengut lebih dahulu jadilah saya terdiam dan hanya bisa meminta maaf.

Karena sudah dalam kondisi darurat maka saya putuskan untuk menepi dan mencari bengkel motor yang masih buka, oh iya saat itu hujannya selepas ashar, menjelang magrib. Akhirnya saya dapatkan bengkel motor kecil yang masih buka sore ini. 

Tukang bengkelnya masih muda sekitar 30 tahunan dan dari sapaannya diawal masuk bengkel saya mengira orangnya berperangai agak kasar. Entah kenapa saya selalu membayangkan pekerjaan tukang bengkel adalah pekerjaan yang kasar dan berat. Orang tersebut mempersilakan saya duduk, karena diluar memang hujan deras.

Orang tersebut menanyakan apa yang dikeluhkan dari motor saya, saya jawab saja rem depan yang paling parah. Kemudian ia langsung memeriksa keadaan rem depan, dan sepertinya ia langsung mengetahui penyebabnya terlihat dari senyumnya saat memegang rem depan motor. 

Oli remnya habis ternyata, saya yang tidak ngeh awalnya mengira kabelnya putus (plakk) ternyata oli remnya yang habis dan membuat remnya tidak berfungsi dengan baik. Sayangnya dibengkel tersebut tidak ada oli rem, makanya si tukang bengkel itu langsung mengambil sebotol oli baru yang dimasukkan sedikit ke dalam tabung oli rem. Karena kondisinya parah dia menyarankan sementara pakai ini dulu baru setelah sampai rumah dengan selamat segera cari bengkel yang masih buka esok paginya supaya diganti dengan oli rem baru.

Setelah mengecek rem depan kemudian ia mengecek rem belakang, yang ternyata kondisinya sama parahnya. Kemudian ia ambil peralatan bengkel untuk membuka rem belakang, sepertinya ada masalah dengan bagian dalam remnya.

Ternyata waktu sudah memasuki magrib, terdengar saut adzan dari kejauhan. Saya yang merasa tanggung menunggu motor saya dibengkel memutuskan untuk menunggu sejenak sampai pekerjaan bengkel itu kelar. Sampai ketika adzan selesai, si tukang bengkel itu berkata "Mas, muslim? Mau shalat?" dengan agak malu dan kaget saya berkata "Iya, boleh apa ada tempat sholatnya?" , Orang itu langsung menunjukkan kamar dibelakang yang masih ada hamparan sajadah, walau kecil namun sangat layak dan bersih untuk tempat shalat, padahal dari luar bengkel itu terlihat kumuh, karena ceceran oli dan onderdil motor bertebaran dimana-mana. 

Saya biasanya tidak menemukan bengkel seperti ini, biasanya tukang bengkel kecil pinggir jalan selalu menyelesaikan dulu pekerjaannya, tanpa menawarkan shalat kepada saya yang saat itu sedang terjebak mau cari masjid dulu atau menunggu dulu sampai motornya kelar diperbaiki. 

Alhamdulillah saya masih bisa shalat tepat waktu, walau tidak di masjid karena kondisinya masjid berada agak jauh dari bengkel, setelah selesai shalat, selesai pula lah motor saya diperbaiki. Saya merasa tertegur dengan kejadian diatas, seharusnya saya yang berinisiatif untuk bertanya ada tempat shalat dekat sini gak, sehingga saya bisa segera melaksanakan shalat tidak menundanya.

-Pb-